KOMPAS/A PONCO ANGGORO
MAYNARD RAYNOLDS NATHANAEL ALFONS
Oleh A Ponco Anggoro
Maynard Raynolds Nathanael Alfons memperkenalkan nuansa musik baru kepada publik Ambon lewat penampilan kelompok Molucca Bamboo Wind Orchestra. Rence Alfons, panggilannya, menampilkan kelompok itu pada perayaan ulang tahun Kota Ambon tahun 2006. Sebagai pemimpin merangkap komposer, penata musik, dan konduktor Molucca Bamboo Wind Orchestra, Rence memadukan alat-alat musik tradisional di Maluku yang semakin terlupakan. Hal itu, misalnya, suling bambu yang sebenarnya dikenal orang Maluku sejak akhir abad ke-16, totobuang (gong kecil berjumlah 14 buah), dan tifa.
Lewat Molucca Bamboo Wind Orchestra, dia dan kawan-kawan memadukan alat-alat musik tersebut dengan alat musik modern, seperti gitar, biola, dan keyboard. Keseriusannya mendapatkan apresiasi dari publik, hingga Taman Budaya Maluku di Ambon menyediakan auditorium berkapasitas 800 penonton untuk konser rutin Molucca Bamboo Wind Orchestra.
Pria penggemar musik klasik ini mengajak dan melatih sendiri para pemain orkestra itu. Para pemain yang diajaknya bukan pemusik dengan standar keahlian musik tertentu. Rence hanya mengajukan syarat, mereka mau turut serta dan rajin berlatih. Tak heran, para pemain orkestra tersebut berasal dari latar belakang beragam, seperti montir, tukang ojek, polisi, dan pelajar.
Rence aktif mendatangi mereka sambil minum kopi atau sopi (minuman khas Maluku yang terbuat dari pohon enau) sebelum mengajak bermain musik. Tak jarang ajakannya itu dijawab keraguan karena mereka tak pernah bermain musik di panggung, apalagi orkestra. Selain itu, dia juga harus menyediakan suling yang diperlukan dalam orkestra tersebut.
Ternyata mencari suling bukan hal mudah. Tak banyak lagi perajin suling di Ambon. Jadilah Rence membuat sendiri suling itu. Keahlian ini dia peroleh dari sang ayah, Markus Alfons, saat usianya sekitar sembilan tahun.
Dia membuat suling di rumahnya, Desa Tuni, Nusaniwe, Ambon. Rence memilih sendiri bambu tui, bahan baku sulingnya. Ia lalu mengeringkan, melubangi, dan memoles bahan baku bambu itu dengan ampelas, lalu menggunakan alat untuk melaraskan nada.
Rence membuat lima jenis suling dengan bentuk yang berbeda-beda. Nada yang dihasilkan pun beragam, mulai dari sopran tinggi, alto, tenor, sampai bas yang rendah.
”Sering juga suling yang saya buat ternyata bernada fals. Kalau begini, artinya saya harus membuat (suling) lagi,” kata Rence yang membutuhkan sekitar dua bulan untuk membuat 52 suling.
Notasi angka
Sebagai lulusan Jurusan Musikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Rence mempraktikkan ilmu yang dimilikinya sebagai dasar aransemen dan komposisinya. Namun, penerapan hasil aransemen dan komposisinya itu tidak mudah dalam penerapannya.
Masalahnya, para pemain orkestra bukan pemain musik profesional yang terbiasa membaca notasi balok. Rence yang mulai belajar musik sejak usia sembilan tahun ini kemudian mengakalinya dengan membuat notasi angka.
Tak hanya soal notasi yang dihadapi Rence, kendala waktu latihan juga menghadang. Para pemain Molucca Bamboo Wind Orchestra yang berasal dari latar belakang pekerjaan yang berbeda mengakibatkan tidak mudah bagi mereka untuk mendapatkan waktu guna berlatih musik bersama.
Namun, Rence pantang mundur. Apalagi mereka yang mau bergabung sebagai pemain musik kelompok Molucca Bamboo Wind Orchestra itu sebenarnya mempunyai bakat bermusik. Para pemain, kata Rence, relatif dengan mudah dapat menirukan nada yang dicontohkannya.
Dia bercerita, semangat 135 pemain musik orkestra itu (55 orang di antaranya memegang suling) juga membuat dia selalu optimistis. Para pemain musik tetap bersemangat setiap kali latihan meskipun mereka hanya diberi imbalan berupa makanan ringan. ”Tidak sedikit pemain kami yang harus berjalan kaki sampai sekitar 3 kilometer untuk datang ke tempat latihan. Saat listrik padam, mereka pun tetap bersemangat latihan meski hanya dengan penerangan lilin,” ujarnya.
Menambah penghasilan
Dari upaya Rence dan kerja keras para pemain Molucca Bamboo Wind Orchestra, mereka bisa menambah penghasilan. Setiap kali konser, masing-masing pemain bisa memperoleh honor sekitar Rp 250.000.
”Memang jumlah uang itu belum sebanding dengan kerja kerasnya, tetapi setidaknya kami bisa menambah penghasilan,” kata Rence.
Lebih dari itu, para pemain senang karena bisa bermain musik di hadapan publik. Apalagi mereka pun berkesempatan mengiringi artis terkenal, seperti Glenn Fredly.
”Saya sendiri merasa bangga karena semakin banyak anak muda yang ingin bergabung dengan orkestra kami,” kata Rence.
Melalui Molucca Bamboo Wind Orchestra, dia merengkuh obsesinya untuk ikut serta membangun Maluku, sekaligus memopulerkan alat musik tradisional dengan konsep yang tak membosankan.
”Tetapi, membangun Maluku tidak bisa dilakukan hanya dengan menjadi pemain musik. Kita harus bisa lebih dari itu, seperti menjadi pencipta lagu dan mencetak pemain musik,” kata Rence.
Obsesi itu pula yang mendorong dia kembali ke Ambon setelah lulus kuliah meski saat itu tidak sedikit tawaran yang datang kepadanya untuk bermain musik di kota-kota besar di Jawa dan Sumatera.
Di Ambon, selain membentuk Molucca Bamboo Wind Orchestra, Rence juga merintis pertunjukan ensambel (beranggotakan 10-12 orang) dengan alat-alat musik tradisional Maluku dari tahun 2003 di Taman Budaya Maluku.
Melalui ensambel ini pula, dia mempertunjukkan tujuh hasil karya musiknya yang bertujuan menggugah kehidupan masyarakat di Maluku. Perdamaian, indahnya hidup dalam keberagaman, harapan akan Maluku baru setelah kerusuhan melanda tahun 1999, dan keprihatinan akan kian rusaknya lingkungan hidup didengungkan Rence melalui karya musiknya.
Rence ingin menunjukkan, pengembangan musik di Maluku bisa turut berperan membangun peradaban. Musik tidak hanya dapat menggugah perasaan orang, tetapi juga menjanjikan lapangan kerja.
Baginya, musik tidak sebatas hiburan....